Memahami Cara Menafsirkan Perjanjian

Dalam menafsirkan perjanjian, terkadang terdapat perbedaan pandangan atau perbedaan penafsiran atau Interpretasi, Penting untuk diketahui bersama bahwa persoalan perbedaan Interpretasi para pihak terhadap suatu perjanjian yang tertulis atau kontrak, merupakan hal yang lazim terjadi.

Bahkan perbedaan Interpretasi terhadap suatu perjanjian yang terjadi dapat mengakibatkan perselisihan Para Pihak sampai ketingkat Litigasi penyelesaian melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama untuk Perjanjian yang berprinsip syariah. Oleh karena hal tersebut sebelum Para Pihak menandatanganinya terlebih dahulu Para Pihak wajib memahami isi dari perjanjian yang dimaksud

Selanjutnya PT. Jamkrida Banten dengan banyaknya mitra yang telah bekerjasama yang didasari dengan Perjanjian Kerjasama melakukan upaya untuk meminimalisir risiko hukum diantaranya dengan cara memberikan penjelasan terlebih dahulu secara detail isi dari perjanjian kepada para calon mitranya sebelum menandatangani kontrak perjanjian kerjasama.

Adapun cara menafsirkan perjanjian yang dapat kita jadikan sebagai rujukan sebagai berikut

Menurut Anggita Isty Intansari dalam Buku Pembelajaran Contract Drafting (hal. 49-54):

Jika kata-kata dalam suatu perjanjian jelas, para pihak dilarang melakukan penafsiran

Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran (indeen de bewordingen eener overeenkomst duidelijk ziujn mag men daarvan uitlleging niet afwijken), sebagaimana diatur dalam Pasal 1342 KUH Perdata.

Merujuk pada ketentuan tersebut, penafsiran tidak diperkenankan jika kata-kata suatu perjanjian telah jelas. Hal inilah yang dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin kejelasan makna (plain meaning rules).

Patut diperhatikan, yang dimaksud dengan “kata-kata yang jelas” adalah kata-kata yang tidak memberikan banyak peluang penafsiran makna.

Jika kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka diberikan tafsir yang paling sesuai dengan kehendak para pihak

Dalam Pasal 1343 KUH Perdata diatur, jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka harus diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Maksudnya, perjanjian tersebut harus diberi tafsir yang paling sesuai dengan kehendak para pihak, meskipun artinya menyimpang dari kata-kata yang terdapat dalam perjanjian.

Misalnya, dalam perjanjian jual beli beras dikatakan bahwa “semua yang ada di dalam gudang”. Padahal, sebenarnya yang dimaksud dari kalimat itu adalah semua beras yang ada di dalam gudang. Jadi, jika ada barang lain di dalam gudang, seperti sepeda atau kursi, barang tersebut tidak termasuk dalam cakupan dari “semua yang ada di dalam gudang”.

Jika suatu perjanjian memungkinkan untuk diberikan lebih dari satu penafsiran, maka yang dipilih adalah yang lebih memungkinkan untuk dilaksanakan

Dalam Pasal 1344 KUH Perdata diatur, jika suatu janji dapat diberikan 2 macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada pengertian yang tidak memungkinkan pelaksanaan.

Maksudnya, dalam hal terdapat 2 pengertian, maka yang harus dipilih adalah pengertian yang lebih memungkinkan pelaksanaan janji yang bersangkutan daripada yang tidak memungkinkan pelaksanaan perjanjian.

Ini berarti, perjanjian harus ditafsirkan sedekat mungkin dengan maksud para pihak, baik diukur dari kehendak para pihak maupun penerimaan masyarakat yang paling memungkinkan untuk pelaksanaan perjanjian tersebut.

Jika suatu perjanjian memungkinkan untuk diberikan lebih dari satu penafsiran, maka yang dipilih adalah yang paling selaras dengan sifat perjanjian

Pasal 1345 KUH Perdata mengatur, jika kata-kata dapat diberikan 2 macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras atau sesuai dengan sifat perjanjian. Berarti, perjanjian harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga artinya paling selaras dengan sifat kontrak.

Misalnya, dalam perjanjian pinjam meminjam uang dengan bunga. Bunga di sini dapat diartikan sebagai kembang dan dapat pula diartikan sebagai renten atau tambahan uang pembayaran. Tapi, karena perjanjian ini adalah perjanjian pinjam meminjam uang, tidak mungkin kata bunga ini ditafsirkan sebagai kembang, tetapi harus ditafsirkan sebagai renten atau tambahan uang pembayaran.

Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana perjanjian telah dibuat

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1346 KUH Perdata. Misalnya, jika ada perjanjian jual beli makanan pokok yang berlokasi di Maluku, maka dapat dipastikan menurut kebiasaan tempatnya makanan pokok yang dimaksud bukanlah beras, melainkan sagu.

Hal-hal menurut yang kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1347 KUH Perdata. Misalnya, kebiasaan daerah setempat adalah dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian.

Perjanjian yang dibuat tidak dapat ditafsirkan sebagian demi sebagian, melainkan harus ditafsirkan sebagai suatu keutuhan

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1348 KUH Perdata yang menerangkan bahwa semua janji yang diberikan dalam satu persetujuan harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain, tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh persetujuan.

Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1349 KUH Perdata.

Merujuk kepada penjelasan di atas, maka selain menjadikan Pasal 1320 KUHPerdata sebagai landasan syarat sah atau tidaknya perjanjian, namun sebelum menandatangani suatu perjanjian penting untuk difahami bersama isi maksud dan tujuan dibuatnya perjanjian tersebut oleh Para Pihak yang membuatnya. Mengingat Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.

Menu Disabilitas